Kau Hak Guna, Bukan Hak Milik
Siang ini aku datang ke
perpustakaan kampus. Kedatanganku kali ini untuk memenuhi undangan pengambilan
kunci ruang kubikus untuk ruang kerja sementara dalam rangka menyelesaikan
pekerjaanku sebagai mahasiswa. Saat kudatangi meja petugas, yang kudapati hanya
kosong. Petugasnya sedang istirahat, Bu, nanti masuk lagi jam setengah dua. Begitulah
informasi yang kudapatkan dari petugas lainnya. Ya, ini hari Jumat. Lalu aku
pun memilih duduk di sofa ruang tunggu.
Tak lama berselang datanglah
seorang perempuan yang tampak kebingungan. Ia pun beberapa kali mencoba
mengubungi seseorang, namun gagal. Akhirnya Ia mendatangi meja petugas yang
tadi kutanya. Jawabannya sama. Ia pun harus menunggu petugas pemegang kunci
yang sedang istirahat.
Perempuan itu berjalan ke arahku.
Ia duduk di kursi sebelah yang masih kosong sambil terus sibuk memainkan
ponselnya. Di sela waktu menunggu, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut
kami sekadar untuk berbincang. Ya, hal seperti ini sudah sangat lumrah terjadi
di kota besar seperti ini. Aku tak beraktivitas apapun. Hanya sesekali menengok
ponselku meskipun tidak menampilkan notifikasi. Sementara perempuan itu tetap
sibuk menelepon, mengetik pesan, dan entah apa lagi. Yang kuperhatikan darinya
hanya satu hal, sepatu.
Aku memang melirik sepatu yang Ia
kenakan. Masih kuingat, model sepatu yang sempat ingin kupesan kepada seorang
rekan kerja yang menawarkannya padaku waktu itu. Kegemaranku mengoleksi sepatu
membuatku sering lapar mata dan sulit menahan hasrat untuk tidak memakainya. Ini
sepatu anyaman, Bu, bagus loh. Rayunya waktu itu. Sungguh sangat ingin aku menerima
tawarannya. Karena memang beberapa kali aku telah melihat iklan sepatu itu dan
akupun kepo dibuatnya. Aku menanyakan harga sepatu itu. Hampir tiga ratus ribu,
katanya. Sebagai penyuka sepatu untuk dipakai harian, aku memang merasa harga
tersebut pantas. Sepatu yang unik, dan aku belum pernah memilikinya. Sayangnya,
waktu itu aku baru saja menerima kiriman sepatu yang kubeli dari teman. Kebetulan
Ia sedang plesiran menengok Marlion. Aku beli dua pasang ya. Kataku semangat
waktu itu. Belum juga kupakai keduanya, aku jatuh cinta lagi pada sepatu
anyaman yang diposting di lapak online. Aku urung memesan. Aku menunda waktu. Melihat
sepatu yang dikenakan perempuan itu, aku jadi kembali merasa menyesal. Mengapa waktu
itu tak kubeli saja? Toh bisa juga dipakai bergantian. Sepatu yang warnanya
kuangggap paling bagus, kini ada di kaki perempuan itu. Dan aku, masih
mengenakan sepatu dari Marlion yang dulu juga kunantikan.
Beberapa waktu kemudian, petugas
yang kami tunggu pun datang. Petugas yang tadi sempat kami tanyai itu menyilakan
kami untuk menemui petugas pemegang kunci. Perempuan itu dengan sigap bangkit
dari duduknya dan menuju meja petugas yang tersenyum ramah menyambut
kedatangannya. Kubiarkan saja dia dilayani lebih dulu. Perempuan yang kukira
berusia empat puluh tahunan itu menyampaikan beberapa pertanyaan. Lalu dari
tasnya dikeluarkan sebuah amplop besar, lalu memasukkannya lagi. Entah apa isinya.
Aku pun lalu beranjak dan berjalan menuju ke sana. Kami berpapasan. Masih tanpa
kata. Kulihat dia sudah memegang kunci dan bergegas pergi.
Petugas itu memintaku untuk
mengisi identitas. Dia menyodorkan sebuah kunci yang bernomor 72. Ditunjukkannya
kepadaku denah ruangan yang akan kutempati. Aku menawar tempat yang lebih dekat
dengan kaca besar yang menghadap ke danau. Tidak ada, sudah diambil oleh Ibu
tadi, begitu jawabnya. Dalam hati aku menyesal membiarkannya dilayani lebih
dulu. Perempuan itu dapat memilih tempat strategis yang aku inginkan. Aku pun
menerima kunci nomor 72. Aku bergegas menuju ke ruang kubikus.
Ruang berbentuk kubik ini akan
menjadi hakku selama tiga bulan. Aku telah mengantre selama tujuh bulan demi
mendapatkan hak ini, meski mendapatkan ruang yang tidak sesuai dengan yang aku
inginkan. Ruang ini adala hak gunaku, hak pakaiku. Aku tidak punya hak
memilikinya. Bahkan hak pakaiku pun terbatas oleh waktu. Di dalamnya,
disediakan meja kerja yang representatif. Ada loker yang dilengkapi kunci pula,
rak bersusun, dan space yang cukup
luas untuk merebahkan badan. Yang aku tak tahu, di kubikku ini ada dua kursi di
dalamnya. Kuperhatikan sekitarku, mereka hanya mendapat satu kursi saja. Lalu,
ini kursi siapa?
Dua kursi di ruang kerjaku. Kukira,
memang seharusnya aku tak sendirian berada di kubik ini. Aku selalu butuh kawan
untuk berbincang, sekadar teman makan, atau berdiskusi tentang pekerjaan yang
seringkali membuatku penat dan tak mampu menyelesaikannya dengan cepat. Tiba-tiba
saja aku teringat pada perempuan tadi. Dia yang sempat bertatap lagi denganku
saat berjalan menuju tangga keluar. Aku menawarkan senyumanku padanya. Dengan agak
segan Ia pun membalas senyumku, sekadarnya. Lalu kami berjalan masing-masing,
berlawan arah.
Aku ingin nanti menemuinya. Aku ingin
kami berbagi ruang ini. Sesekali aku ingin berada di kubiknya. Sesekali kubiarkan
Ia berada di kubikku. Aku akan menyambutnya dengan suka cita, jika berkenan Ia
berbagi denganku. Aku memang tak mengenalnya. Tapi pertemuan kami pastilah
bagian dari kisah yang ditulis oleh penulis skenario untuk digarap sang
sutradara. Meskipun kelak masa itu akan berakhir, karena sekali lagi, kami hanya
memiliki hak guna, bukan hak milik. Berlanjut atau tidaknya pertemuan ini,
bergantung pada yang punya cerita. Tunggu saja.